WhatsApp

https://wa.me/6281293912345

"suka tanpawali duka"

Metallic Text Generator at TextSpace.net

Monday, February 10, 2020

Makna Upacara Caru dalam Tawur Agung di Bali - Pura Luhur Batukau


Share |




CARU VS AHIMSA

https://www.facebook.com/groups/148904188507182/permalink/2873493036048270/

A. CARU BINATANG ITU KEJAM
Caru dan penyambleh terlihat begitu kejam, layakkah hal ini dilakukan oleh manusia, terlebih orang suci. Saya bahkan pernah mendengar kalimat, jika dengan mengorbankan binatang menyebabkan mereka meningkat penjelmaannya menjadi manusia, mengapa tidak engkau korbankan manusia agar mereka kelak menjadi Dewa!

Upacara dengan pengorbanan binatang sering menjadi perdebatan ketika saya bertemu dengan rekan-rekan mahasiswa yang menekuni Hare Krsna (HK). Dalam dialog meraka dengan fasih memaparkan sloka demi sloka, sehingga sayapun dalam hati mengagumi cara rekan-rekan saya ini.

Akhirnya sayapun tertarik dengan Bhagawad Gita menurut aslinya yang dijual di asrama UNHI, walaupun dengan mencicil Rp. 5000 sebulan dengan cicilan 10x. Pandangan salah satu rekan penekun HK ini juga membuat saya mulai berfikir kritis terhadap upacara khususnya yang menggunakan binatang.

Setelah pulang ke Buton beretepatan dengan Galungan , sebagai sarjana Agama yang baru tamat dari perkuliahan di UNHI Denpasar tahun 2001, ada suatu pertentangan dalam diri saya tentang ajaran ahimsa dan penampahan galungan, ini adalah dua hal yang amat bertolak belakang.

Ahimsa mengajarkan agar kita tidak menyakiti, sementara pada hari Galungan kita merayakan kemengan dharma (berpesta) diatas penderitaan makhluk lain (celeng). Bagaimana mungkin seorang manusia Hindu dikatakan menang atas Sad Ripu karena dalam kenyataannya melakukan pembunuhan yang begitu banyak pada hari penampahan.

Ada berbagai penolakan yang muncul dalam batin saya saat itu tetapi tidak dapat berbuat apa untuk mengubah tradisi yang sudah berlangsung turun temurun. Bahkan galungan tidak meriah jika tanpa nampah celeng.

Tentu saja ini merupakan permasalahan pertentangan batin yang mungkin dialami oleh banyak umat Hindu, terutama bagi mereka yang menentang pemakan daging.

B. PENAMPAHAN YANG INDAH
Penampahan Galungan di tahun 2001 telah mengubah semua pandangan dan pikiran galau tentang konsep ahimsa dan nampah. Hal ini bermula ketika saya mengalami suatu mimpi yang sangat aneh berjalan-jalan ke lapisan alam bawah.

Lapisan pertama adalah kobaran lautan api tanpa tepi yang disebut Maha Garbha Naraka. Ini adalah lapisan terbawah dasar dari alam yang paling bawah yang hanya ada Sang Hyang Kala Gni Rudra yang luasnya tanpa tepi.

Tidak ada yang lain yang terlihat selain lidah api berwarnya merah kekuning-kuningan menjulur keangkasa. Jika ada orang ditempat ini tentu tak akan dapat melarikan diri sebab lautan api tanpa tepi ini menjulang tinggi ke angkasa.

Lapisan berikutnya adalah rasatala, yaitu sebuah lapisan gelap yang dihuni hanya oleh roh hewan bersel satu dan sejenisnya yang nampak hanya bagaikan kerdipan bakteri dan jamur jamur kecil yang menyala ditengah kegelapan. Disinila cikal bakal dari mahluk rendah seperti halnya virus dan bakteri.

C. ROH BINATANG TERJEBAK DI TALA-TALA
Lapis berikutnya diatas rasa tala adalah tala-talayang mana tempat inilah yang dihuni oleh berbagai roh hewah. Disini sang arwah tidak dapat berinkarnasi menjadi lebih baik tanpa bantuan dari manusia.

Kondisi tempat ini selalu berkabut seperti layaknya pukul 05.30 pagi atau 18.30 petang (sandikala) tanpa matahari, dimana para arwah dikelompokkan dalam pulau-pulau kecil yang dikelilingi lumpur mendidih sehingga tak dapat kemana-mana layaknya penjara tanpa terali.

Roh binatang ini berkumpul menunggu makanan dari upacara yadnya yang dilakukan padalapisan alam manusia atau bhur loka, sambil menunggu antrian untuk dibebaskan. Saat itulah saya mendengar bisikan mereka semua sedang menunggu bantuan untuk dibebaskan dengan jalan digunakan dalam yadnya (ne mekejang I buron ngantosang anggon yadnya).

Ada suatu kejadian menarik disini, dimana ada binatang babi dempet dengan monyet. Di bawah badannya 1 tapi pinggang keatas menjadi dua yaitu monyet dan babi. Ketika ada menusia menghaturkan pengulapan pengambean entah tumpeng pitu atau tumpeng sols dan seterusnya, maka yadnya itu  sampai dilapisan tempat  mereka tinggal.

Semua binatang berebut makanan termasuk sim monyet dan celeng dimpil. Monyet memang lebih cerdik, sang babipun berteriak dengan kesal, karena selalu kalah cerdik dengan si monyet. Teriakannya yang begitu besar membangunkan saya dari tidur, dan ternyata ini sudah menunjukkan pk.03.30 pagi penampahan Galungan.

Saya langsung bangun dan mendekati sumber teriakan babi tadi yang ternyata adalah babi tetangga yang akan dipotong saat penampahan. Karena baru terbawa mimpi saya begitu kaget, wajah babi itu persis seperti dalam mimpi saya.

Saya bertanya kenapa masih kecil sudah dipotong? Pemiliknya menjawab: “ini sudah setahun dipelihara, makanya banyak tapi tak mau bertambah besar!”

Lalu dalam hati saya bertanya mungkinkah karena dalam diri sang babi ada dua kepribadian yaitu monyet dan babi, babi makan banyak tapi yang menerima sebenarnya monyet sehingga sang babi tak kunjung besar. Inilah kesimpulan saya sementara pada saat itu.

D. MECARU KARENA KASIH
Setelah sekian lamasaya merenungkan penampahan galungan barulah saya tertarik untuk menulis ulang pengalaman mimpi saya dan mengulasnya sebagai kebenaran di Balik Penampahan, atau penyembelihan hewan.

Ada suatu penguatan tentang kebenaran dari mimpi saya ini ketika saya menjadi pemangku kemudian nganteb tumpeng pitu dengan puja mantra:
“Om Sang Hyang Sapta patala, Sang Hyang sapta Dewata, Sang Hyang Panca kosika gana….dst”

Disinilah suatu yadnya yang kita lakukan berusaha menyentuh semua lapisan alam, mulai alam bawah sampai alam atas. Ini merupakan penerapan ajran Tri Hita karana dalam bentuk Yadnya.

Sang Hyang Sapta Dewata menghubungkan manusia dengan para Dewa sebagai manifesatasi Hyang Widdhi, dan para leluhur yang ada di Pitra Loka sebagai akibat perbuatan baik atau subha karma dimana sang roh akan lahir menjadi manusia yang punya dasar kelahiran baik (swarga cyuta).

Sang Hyang Sapta Pattala menghubungkan manusia dengan alam bawah yaitu alam para roh yang jatuh keneraka sebagai akibat asubha karma yang dilakukan semasa hidupnya. Yang selanjutnya mereka akan lahir menjadi manusia atau binatang yang punya dasar kelahiran buruk atau neraka cyuta.

Terhadap dua hal ini kita tidak dapat membantah kebenarannya yang dapat kita lihat dari kelahiran, rejeki, musibah, ciri fisik dan sebagainya. Dari sini manusia harusnya bersyukur karena masih dapat menolong dirinya sendiri dengan jalan melaksanakan Dharma. Salah satu dari dharma itu adalah menolong makhluk lain (hewan & Tumbuhan) dengan menggunakan mereka sebagai yadnya, dengan harapan dapat menitis kembali menjadi yang lebih baik.

Harapan ini juga disampaikan oleh doa para orang tua kita ketika memotong hewan pada saat penampahan. “Ih cai buron jani penampahan, tampah anggon yadnya apang numitis dadi jatma melah” Hai kamu binatang sekarang penampahan, kupotong kamu sebagai yadnya agar lahir kembali sebagai manusia mulia.

Semoga tak ada lagi keraguan untuk Nampah ketika nampah itu untuk yadnya ataupun caru, inilah kesempatan kita menolong para roh binatang yang terjebak di alam Tala-tala. Semoga lepaslah ikatan karma yang dilandasi cinta kasih, kerja untuk kerja, senyum untuk senyum, belajar untuk belajar, dan penampahan untuk nampah serta galungan untuk galang.












E. MECARU ITU NGURIP SECARA ROHANI
Caru, dalam bahasa Jawa-Kuno (Kawi) artinya: korban (binatang), sedangkan ‘Car’ dalam bahasa Sanskrit artinya ‘keseimbangan/ keharmonisan’. Jika dirangkaikan, maka dapat diartikan: Caru adalah korban (binatang) untuk memohon keseimbangan dan keharmonisan.

Keseimbangan/ keharmonisan’ yang dimaksud adalah terwujudnya ‘Trihita Karana’ yakni keseimbangan dan keharmonisan hubungan manusia dengan: Tuhan (parhyangan), sesama manusia (pawongan), dan dengan alam semesta (palemahan).

Bila salah satu atau lebih unsur-unsur keseimbangan dan keharmonisan itu terganggu, misalnya: pelanggaran dharma/ dosa, atau merusak parhyangan (gamia-gamana, salah timpal, mitra ngalang, dll), perkelahian, huru-hara yang merusak pawongan, atau bencana alam, kebakaran dll yang merusak palemahan, patut diadakan pecaruan.

Ketika dipersembahkan menjadi caru binatang berfungsi memperbaiki atau menata ulang energi paca maha bhuta disekitarnya oleh karena itu disebut dengan istilah bangun urip. Bangun=bangkit, urip berarti hidup, jika dipadukan berarti membangkitkan kehidupan ini sehingga lebih harmonis.

Jika kita pehatikan olahan caru merupakan praktek menangkap gelombang alam sehingga diperlukan susunan yang olahan yang tepat.
I. Jatah/ Sate
Secara umum tetandingan olahan dibagi 3:
Ketengan:      1 katih sate lembat X 4 tanding
Bayuhan : 1 katih sate lembat X urip dina
Pajegan : 4 jenis sate (lembat, empol,      asem,……..) X urip
II. Olahan:
Urab      Barak : lambang brahma
Urab      Hijau : lambang wisnu
Urab      Putih : lambang Iswara
Ayam Putih Nulus urip 5 (Dewanya Iswara)
Ketengan       4
Bayuhan       1
Pajegan       5
Biying urip 9 (Dewanya Brahma)
Ketengan       4
Bayuhan       1
Pajegan       9
Putih siungan urip 7 (Dewanya Maha Dewa)
Ketengan       4
Bayuhan       1
Pajegan       7
Hitam urip 4 (Dewanya Wisnu)
Ketengan       4
Bayuhan       1
Pajegan       4
Brumbun urip 8 (Dewanya Siwa)
Ketengan       4
Bayuhan       1
Pajegan       8
Gelar Sanga 9 katih X 9      pesel.
Kelengkapan lain
1. Sanggah cucuk 5 buah
2. Sengkui sesuai urip
3. Klabang maikuh
4. Bungkak menyonyo (Bulan, udang, gading, gadang mulung/ wulung, sudha mala)
5. Tetimpug 3 batang
6. Kulkul 1
7. tulud 1
8. Sapu 1
9. Kekeplugan 1
10. Kain bendera
11. Upakara lainnya.
Om Sarwe Bhawantu Sukinah

Saksikan selengkapnya pada #YouTube #channel

Ada yang lucu juga 😁😁🌹🤭🤣🤣🤣🤣🏁🏁


https://youtu.be/AEwpoYpQJA0


No comments:

Post a Comment

"suka tanpawali duka"
(kebahagiaan abadi)